• Home
  • Posts RSS
  • Comments RSS
  • Edit
  • Senin, 11 Juni 2012

    Arti Dia di hidupku

    Hidup itu pelajaran dann hidup itu indah..
    Ketika aku terlalu letih dengan masalah hidupku, senyum itu membuat mataku tidak berkedip. Membauat hatiku berdetak lebih cepat dari batas normalnya. Membuat langkahku tergerak untuk mengikuti tubuh pemilik senyum itu.
    Lapangan basket, pukul 10.00
    Udara cukup panas pagi ini. Tapi pemilik senyum itu dengan asyiknya berlari kesana kemari mendrible bola basket ditangannya. Mengoper dengan temannya yang berambut jabrik. Lalu dia berlari kepojok, menangkap bola dan goaal.. Upss memang sepak bola, ngaco! Aku tersenyum sendiri melihat tingkahnya, keringat yang menetes di dahi dan pipinyamembuatnya terlihat tambah manis. Apalagi rambutnya yang berantakan dan lepek karena keringat. Tuhan.. ada apa denganku?
    “Hei apa kau menyukaiku? Sejak tadi menatapku?”, ups dia bertanya kearahku dan sekarang semua mata menatapku.
    Speechless! Aku berbalik dan melangkah menjauh. Tak peduli bagaimana respon cowok itu. Dasar cowok bego. Didepan banyak orang seenaknya ceplas-ceplos. Menyebalkan!
    ***
    Aku memang terlahir sebagai anak orang berada aah bukan kaya raya. Tapi, hidupku sama sekali tidak bahagia. Orang tuaku bertengkar nyaris setiap hari. Mereka sibuk kerja, gila kerja. Adikku satu-satunya, Esha,selalu pulang larut malam sebagai aksi protes. Tapi nyatanya orang tua ku tetap tidak peduli. Mereka justru saling menyalahkan. Runyaaam! Aku bisa gila jika setiap hari seperti ini. Sebagai cewek aku nggak mungkin sefrontal itu melakukan aksi protes. Aku hanya diam dan menganggap kedua orang tuaku tak ada ketika kami berpapasan dirumah. Aku tidak pernah berpamitan ataupun menanyakan kabar mereka. Aku menutup maafku untuk mereka.. Pukulan semalam juga..
                    BRUK! AW... Aku tersandung sebuah kaki yang entah dari mana asalnya. Kurang 10 meter lagi aku sampai kelas. Aaargggh, sikutku berdarah. Perih. Mataku mulai berair. Luka seperti ini, bukan lukanya tapi mengingatkan aku ketika Mama sering memukulku karna hanya hal sepele. Luka dihatiku. Air mata tak bisa kubendung lagi. Mulai menetes dan aku tertunduk semakin lama. Jangan menangis Sha. Jangaaan.. Semoga tidak ada yang menyadari. Aku harus segera pergi dari sini.
                    “Hey kamu yang kemarin. Apa kamu menyukaiku? Kenapa sekarang berpura-pura jatuh didepanku? Kamu mau kenalan sama aku ya?”, suaru itu lagi. Aku menyesal memujinya kemarin.
                    Aku berdiri, mengerjapkan mata, dan menatapnya tajam. “Aku tersandung kakimu yang menjulur seenaknya ditengah jalan! Lagi pula, jadi orang jangan kepedean deh. Emang dilapangan basket Cuma ada kamu doang hah?” bentakku bertubi-tubi.
                    Dia hanya menatapku dengan ekspresi yang aneh. Tatapan bingung, heran, dan.. “Kamu nangis?” tanya nya.
                    “Hah?” aku shock. Tuhan.. Aku segera menghapus sisa air mata dipipiku.
                    “Hanya karna tersandung? Dan sedikit luka di siku?”, tanyanya lagi heran.
                    Saking sebalnya, dan perasaanku yang sedang ngga karuan. “AWWWWWW..”, aku menginjak kakinya sepenuh tenaga ditambah remasan yang juga sekuat tenaga. Rasain baweeel! Aku berbalik dan pergi. Aku baru teringat, buku paketku! Aku berbalik, mengambil bukuku yang terjatuh didepan cowok itu. Menjulurkan lidah, dan berlalu. Rasain!
                    Satu meter menginjak pintu kelas, ada sebuah tangan menarik lenganku. Dan sedikit mengenai lukaku, perih. Memepetkan tubuhku kedinding. Cowok itu menatapku tajam. Beberapa lama. Padahal aku mengeriyit menahan perih. “Kenapa nangis? Cuma gara-gara luka kecil kaya gitu?”
                    “Kenapa sih mau tau banget hah? Apa peduli mu! Lepasin tangan ku, perih bego!”, kataku geram.
                    “Mata kamu indah, sayang kalo ditutupin kabut dari air mata Cuma gara-gara luka kecil”, katanya sambil menempelkan hansaplas kesikuku. “Maaf”, dan cowok itu berlalu pergi. Aku hanya menatap punggungnya yang hilang dibelokan lorong sekolah.
                    “Ah, paling dia cuma ngrasa bersalah udah nyandung aku”, aku menggelengkan kepala kuat-kuat mengusir pikiran yang nggak-nggak. Cowok kayak dia mana bisa bersikap baik kaya tadi. Dih..
                    Masuk kelas, loh gurunya. Aku melihat Kesya, mulutnya bergerak tanpa suara, “baru aja kok..” Aku manggut –manggut. “Anak-anak sekarang keluarkan alat tulis saja. Kita ulangan mendadak..” perintah Pak Bagyo. Ya Tuhan.. lagi ngga bisa konsentrasi. Aku mendesah, pasrah. Mood lagi jelek. Malah pagi-pagi udah dapet dua masalah. Sial sial..
    ***
                    “Dasar anak nggak tau diuntung! Hidup enak, nggak pernah hormat sama orang tua! Jadi anak sulung seharusnya bisa njagain adiknya! Nggak kaya kamu! Nggak tau tanggung jawab!” bentak mama.
                    Nggak tau tanggung jawab? “Apa mama tanggung jawab hah? Cuma shooping tiap hari! Ngga ngurus anak sendiri. Bisanya Cuma nyalahin aku! Esha juga anak mama!” bentakku. Ya Tuhan..
                    PLAK.. Sebuah tamparan melayang. Pipi kiriku terasa panas, hatiku menciut terluka, tapi aku menahan untuk tidak menangis, aku hanya bisa menggenggam tanganku dan menggit bibir menahan amarah. Aku berbalik dan berlari. Kemana aku harus pergi? Aku tidak tahan dirumah. Papa belum pulang, pasti lembur. Esha, kemana dia?
                    Aku berlari sambil menangis tanpa suara. Berulang kali menghapus air mata dipipiku.
    Aku pergi ke lapangan basket dekat rumahku. Kira-kira 200 meter. Esha biasanya disini. Tapi kenapa tidak ada. Kemana dia. Aku lupa membawa HP. Susahlah.. Mungkin dia sedang melepaskan rasa kesepian dirumah Aldo, sahabat karibnya. Esha malah sering menginap disana, katanya dirumah Aldo terasa ramai dan hangat. Keluarganya harmonis. Katanya dulu sambil tersenyum sinis.
                    Aku duduk terkulai lemas dibawah ring. Memeluk dengkul, dan menangis sejadi-jadinya. Hatiku terluka, sakit sekali. Aku, Esha, Rasyha nggak butuh duit berjutaan kalo akhirnya gini. Kita Cuma butuh kasih sayang dari mama dan papa. Aku hanya bisa diam dan menangis. Rasanya sudah kehabisan tenaga.
                    Ada sesuatu yang dingin menempel di siku ku. Kaget, aku mendongakan kepala. “Esha?” aku mengerjap-ngerjapkan mata.
                    “Aku Bagas. Bukan Esha.” Suaru itu. Hah?
                    “Kamu? Ngapain disini?” tanyaku terkejut.         
                    “Kenapa nangis lagi? Disepanjang jalan lagi. Aku lagi dimini market sono noh,” Bagas menunjuk mini market tak jauh dari lapangan. “Malu-maluin aja sih kayak anak kecil nangis disepanjang jalan?” tanyanya.
                    Apa? Malu-maluin. Enak aja dia ngomong. “Nggak usah banyak komentar. Gue nggak butuh. Elo nggak tau apa-apa jangan cerewet deh!” bentakku mendorongnya sampai terjatuh dari posisi jongkoknya tadi.
                    “Sha! Kok jadi elo-gue sih? Gue salah apa? Gue Cuma khawatir sama elo!”
                    “Sha? Elo tau nama gue?”, aku melongo. Bingung. Kok bisa?
                    Bagas duduk bersila didepan ku, menatapku tajam, lagi-lagi seperti itu. Matanya itu, bikin aku bungkam.
                    Dia menghela nafas. “Gue udah suka sama elo sejak Mos, Sha. Waktu itu elo cewek yang ceria, entah kenapa gue suka banget ngeliat elo jahil sama temen-temen elo. Ketawa jahil. Sampai ahirnya elo berubah drastis, elo jadi pendiem, sering jalan nglamun. Nggak memperhatikan sekitar. Disekolah gue sering banget ngeliat elo. Dari jauh, semakin hari semakin dari jarak dekat. Tapi..” Bagas menghela nafas. “Elo tetep aja nggak mandang gue. Sedih rasanya. Gue khawatir sama elo, gue kangen ngeliat tawa jahil elo, Sha.” Dia menatap ku nanar.
    Tiba-tiba tangannya terulur mengelus puncak kepalaku dan menyingkirkan poniku yang mulai kepanjangan dan menutup mata.”Mata lo indah, Sha”, Bagas tersenyum. Senyum yang waktu itu. Tuhan.. manis bangeeeet..
    “Sampai akhirnya elo ngeliatin gue manin basket pagi itu. Sumpaaah Sha gueee seneeeeng banget. Akhirnya elo mandang gue, tau gue.” Dia nyengir lebar. Suaranya menumpahkan kelegaan.
    “Tapi ternyata elo galak banget, jutek. Dan waktu elo jatuh, gue nggak sengaja. Gue lagi nunggu elo lewat sambil main gitar di bangku situ. Tempat biasa gue nunggu elo lewat. Dan kaki gue pegel kelamaan nunggu elo. Makanya gue selonjorin. Eh ngga taunya ngenain elo yang nglamun. Dan malah nangis. Gue ngrasa bersalah banget, Sha. Sumpah!” Bagas membentuk kedua jarinya sebagai tanda peace.
    Aku menghela nafas. Ternyata ada seseorang yang nyaris dua tahun sayang sama aku. Dan aku Cuma nyianyiain hidup dengan sakit hati dan kesepian. Aku nggak mencoba buat mencari kebahagiaan gue sendiri. Ya Tuhan..
    “Orang tua gue sering banget bertengkar, gue setres. Gue..” air mata terus menetes. Aku menceritakan panjang lebar. Entah mengapa sesaat aku merasa ada yang menjagaku, aku percaya pada Bagas, aku menemukan tempat terbaik.
    Isak tangisku teredam didada Bagas. Dia membiarkanku menangis disana. Sambil menepuk punggung dan mengelus rambutku. Aku kangen saat seperti ini, saat dipeluk papa. Kapan terakhir ya? Aku sampai lupa. Aku tersenyum sinis dalam hati.
    “Gue sayang sama elo, Sha. Ketawa dong kaya dulu lagi. Gue bakal bantu elo ngomong sama papa, ya? Sha?” Bagas mencoba memisahkan ku dari tubuhnya. Tapi aku menolak, malu habis nangis.
    “Gue malu sama elo, Gas.” Bagas tertawa pelan.
    “Yaudah. Gue tunggu sampai elo mau nglepas. Gue juga seneng elo peluk. Orang gue kangen banget sama elo. Mau ya Sha, jadi cewek gue?” tanya nya serius.
    Otomatis aku melepaskan diri dari Bagas. Menatapnya bingung, diam, meyakinkin diri sampai akhirnya aku mengangguk perlahan dan tertunduk.
    “Cieee malu dia. Hahahaha” goda Bagas. “Gue bakal ngejaga elo, Sha. Tenang aja. Gue bakal disamping elo kok.” Bagas mengangkat daguku. Membuatku menatapnya. “Nih eskrim.” Bagas menyodorkan Cornetto didepan mukaku. Aku tersenyum. Kami makan bersama.
    Terimakasih Tuhan..
    ***
    Bagas mengantarku pulang. Dia menjelaskan semuanya pada papa. Dan akhirnya papa bertengkar hebat dengan mama malam itu. Baru kali ini papa berani membentak mama. Semua terselesaikan. Berkurang sedikit demi sedikit. Luka yang mulai terobati, dan tawa yang mulai menghiasi.
    ***
                   


    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar