Photo by Riesa Sativa Ilma |
Menuangkan
sebungkus carrebian nut dengan cover biru tua itu kedalam cangkir bening
berwarna putih. Kutengok, rupanya air dalam panci belum juga menimbulkan
ledakan-ledakan kecil, kusebut namanya mendidih.
Kutunggu,
kulihat jarum jam bergerak tik tik tik.. kudengar bunyi “rengsengan” dari
panci, sudah mendidih rupanya. Kutuangkan air itu kedalam cangkir dan berharap
cemas agar benda bening itu tak retak ketika harus bersentuhan dengan suhu yang
termuat didalamnya.
Benda panjang
dengan lengkungan cembung itu, kuambil satu dan aku sungguh membutuhkannya
untuk membuat secangkir kopi yang enak. Merata sudah, siap untuk menemani
pencinta candik ayu di ufuk barat.
Seduhan
pertama kurasa lidah itu sedikit menolak, rupa rupanya pencinta candik ayu
meinta gula. Manis, supaya semanis wajahnya, begitu sanggahnya. Satu takaran
dan pola itu tercipta, adukan perlahan di kopi carrebian nut.
Seduhan kedua
hati pemilik mengatakan, nikmat. Sudah puas. Tiba saatnya kedua mata melihat
keelokan langit sore. Sebuah fenomena yang rupa-rupanya selalu mencetak senyum
yang nyata, ketara, jelas, sama sekali tak abstrak, tak tipis. Hal yang membuat
pipi itu semakin membulat bak bakpao ayam yang panas. Tidak merah, tidak ada
semburat, karena lagi-lagi ucapnya ‘aku manis, kulitku kuning langsat, bukan
putih seperti gadis cina’.
Angin semilir,
menyentuh lembut kedua pipi itu, lalu kedua tangan pemilik jemari-jemari itu
bertautan, mencengkeram cangkir bening, berharap mendapat sisa-sisa kehangatan
dilapisan luarnya. Masih ada, masih ia dapati.
Semburat
jingga, oranye, sedikit biru muda, dan sepertinya ungu juga terlukis dilangit
itu. Menatap, tersenyum, dan sedikit bersenandung. ‘suaraku tak begitu indah,
kurasa hanya takdirku yang akan memujiku’ begitu optimisnya.
Waktu tak mau
berlama-lama. Waktu ingin mengajarkan apa itu arti menunggu. Besok, harapnya.
Semoga senja masih ingin ia tunggu. Dengan secangkir kopi, dengan senandung
sederhana, tak lupa dengan angin yang menyejukan.
Pecinta senja,
takdir yang ia tunggu. Kelak kan duduk disampingnya. Mungkin ketika ahad
menghalalkan, jemari tak lagi bertautan mencari kehangatan di cangkir bening.
Namun, berharap besar dengan detakan-gertakan-debaran-jantung, bahasa hati
ketika memikirkannya, jemari tangan akan bertautan dengan jemari tangan yang
lebih kekar, memiliki otot yang lebih kuat dan hangat. Seorang takdir, seorang
pemilik tulang rusuk, seorang pria sholeh, dan seorang imam sebuah keluarga.
Bukan harapan
palsu.
Bukan sebuah
impian bias.
Bukan sebuah
keinginan semata.
Tetapi sebuah
takdir, yang pasti, yang dijanjikan oleh Sang Pencipta.
Berjuanglah
dijalan PenciptaMu, takdirku. Perbanyaklah doamu, untukmu, untukku, dan untuk
kita. Yang tak saling tahu nama, yang tak saling tahu wajah, yang tak saling
tahu fisik, tapi kurasa akan saling tahu seberapa besar akhalq kita, karena
kita adalah cerminan.
Bak senja dan
jingga. Dua kata yang terhubung kata hubung ‘dan’.
Bersabarlah,
untuk hari itu. Kamu tau, aku tau. Takkan ada yang sanggup mengingkarinya.
Karena jingga teruntuk senja. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar